Konspirasi JF.Kennedy, Sukarno, Suharto, CIA dan Freeport
Konspirasi JF.Kennedy, Sukarno, Suharto, CIA dan Freeport
Pada
sekitar tahun 1961, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak
pengelolaan minyak dan tambang-tambang asing di Indonesia. Minimal
sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing harus menjadi
jatah rakyat Indonesia. Namun kebanyakan dari mereka, gerah dengan
peraturan itu. Akibatnya, skenario jahat para elite dunia akhirnya mulai
direncanakan terhadap negeri tercinta, Indonesia.
Pada akhir tahun 1996 lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh seorang penulis Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“.
Walau
dominasi Freeport atas “gunung emas” di Papua telah dimulai sejak
tahun 1967, namun kiprahnya di negeri ini ternyata sudah dimulai
beberapa tahun sebelumnya.
Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur,
demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun 1959.
Saat
itu di Kuba, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator
Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan.
Freeport Sulphur
yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya
dari Kuba, akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba.
Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Fidel Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Dalam
pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan
penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang
ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.
Uniknya,
laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan
selama bertahun-tahun begitu saja di perpustakaan Belanda.
Namun, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya.
Dengan
berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu
jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy
juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah.
Tidak
seperti wilayah lainnya diseluruh dunia, maka kandungan biji tembaga
yang ada disekujur tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan
tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar
hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke
Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya,
jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit
kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama
beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas
Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson
menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar, yang untuk
memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu
telah terhampar di permukaan tanah.
Dari
udara, tanah disekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar
matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila.
Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga
dipenuhi bijih emas dan perak!!
Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN,
bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar, hanya dalam waktu tiga
tahun pasti sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat.
Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun
lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan
yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah
Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah
memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan
jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu
memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari
puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah dan
mundur dari Irian Barat.
Ketika
itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya
mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda
mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar.
Apalagi
mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada
Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.
Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963.
Banyak
kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi
besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan
hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden
Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak
belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi
kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.
Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh
yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain
kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi
Caltex (patungan dengan Standard Oil of California).
Soekarno
pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang
mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia
jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital di New York, dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962).
Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa
Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara
tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco.
Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai “masa yang paling krusial”.
Pease mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank,
salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan Agustus 1965, Long
diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk
masalah luar negeri.
Badan
ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS
di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang
merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan
menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Sedangkan
menurut pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Dr Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya
alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri.
Asvi
juga menuturkan, sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh
Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi
perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto
yang pro-pemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia
menyatakan kepada peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak
setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu.
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
Sebelum
tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno.
Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun
Soekarno menolak secara halus.
“Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno
berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah
putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar
negeri masuk, sedangkan orang Indonesia masih memiliki pengetahuan nol
tentang alam mereka sendiri. Oleh karenanya sebagai persiapan, Soekarno
mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.
Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara.
Namun Asvi menjelaskan bahwa usaha pihak luar yang bernafsu ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat!
Setahun
sebelumnya yaitu pada tahun 1964, seorang peneliti diberi akses untuk
membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan
surat dari duta besar Pakistan di Eropa.
Dalam
surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia
dari intel Belanda yang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Indonesia
akan beralih ke Barat.
Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis.
Sebab
itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai
Komunis Indonesia (PKI), setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua.
Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342,
21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para
penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana
darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal.
Namun
kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak
lebih jauh dari rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan
darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Mantan
pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu
memang benar adanya. Maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai
tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September
yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai
“G-30/S-PKI” dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh)
September oleh pro-Sukarno.
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total.
Terjadi
kudeta yang telah direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi
Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari
surat perintah itu disalahartikan.
Dalam
Supersemar, Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi
keadaan negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru
menjadikannya menjadi seorang presiden.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport
yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease
menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah
tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga
sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat
telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Forbes
Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno yang juga
sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel
pertambangan dan minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar
pertanyaan itu.
Dia
berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno
masih berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden
Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas
di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa
Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah
mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit
Indonesia. Oleh karenanya, usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan
semakin mudah.
Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata.
Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Dalam
bisnis ia menjadi pelopor dalam keterlibatan pengusaha lokal dalam
perusahaan multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam PT Faroka,
PT Procter & Gambler (Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia,
Bank Niaga, termasuk Freeport Indonesia.
Sedangkan
Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat,
karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.
Sebagai
bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal
Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh
Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan
saja menjadi lembek, bahkan sejak detik itu, akhirnya Indonesia
menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini,
dan mungkin untuk selamanya.
Bahkan
beberapa bulan sebelumnya yaitu pada 28 Februari 1967 secara resmi
pabrik BATA yang terletak di Ibukota Indonesia (Kalibata) juga
diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia kepada pemiliknya.
Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata dilakukan pada
bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Padahal
pada masa sebelumnya sejak tahun 1965 pabrik Bata ini telah dikuasai
pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan pengembalian kembali? Dibayar
berapa hak untuk mendapatkan atau memiliki pabrik Bata itu kembali?
Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi pada masa sekarang, pasti sudah
heboh akibat pemberitaan tentang hal ini.
Namun
ini baru langkah-langkah awal dan masih merupakan sesuatu yang kecil
dari sepak terjang Suharto yang masih akan menguasai Indonesia untuk
puluhan tahun mendatang yang kini diusulkan oleh segelintir orang agar
ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Penandatangan
penyerahan kembali pabrik Bata dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak
Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.
Masih
ditahun yang sama 1967, perjanjian pertama antara Indonesia dan
Freeport untuk mengeksploitasi tambang di Irian Jaya juga dilakukan,
tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu ditandatangani.
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware,
AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan
pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport
diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS.
Penandatanganan
bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia
diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport
oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson
(Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk
kepentingan ini. Disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk
Indonesia, Marshall Green.
Freeport
mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk
kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama
dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama
kali dilakukan dengan tujuan Jepang.
Dari
penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan
Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada
Desember 1967.
Inilah
kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman
Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan
Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu
malah merugikan Indonesia.
Setelah itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens),
Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang
menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel).
Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt Gordon Mines Ltd.
Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan.
Contohnya
seperti tiga perjanjian diatas saja dulu dari puluhan atau mungkin
ratusan perjanjian dibidang pertambangan. Terlihat dari ketiga
perjanjian diatas sangat meragukan kebenarannya.
Pertama,
perjanjian pengembalian pabrik Bata, mengapa dikembalikan? apakah
rakyat Indonesia tak bisa membuat seperangkat sendal atau sepatu?
sangat jelas ada konspirasi busuk yang telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga?
Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang tembaga.
Tapi
karena pada masa itu tak ada media, bagaimana jika semua ahli geologi
Indonesia dan para pejabat yang terkait di dalamnya diberi setumpuk
uang? Walau tak selalu, tapi didalam pertambangan tembaga kadang memang
ada unsur emasnya.
Perjanjian
ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk
kedua kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel?
Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang nikel.
Begitulah
seterusnya, semua perjanjian-perjanjian pengeksplotasian
tambang-tambang di bumi Indonesia dilakukan secara tak wajar, tak adil
dan terus-menerus serta perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku
selama puluhan bahkan ratusan tahun kedepan.
Kekayaan
alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun terjual,
dirampok, dibawa kabur kenegara-negara pro-zionis, itupun tanpa
menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan tahun.
“Saya
melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena telah
membantu menghancurkan komunis, yang konon bantuannya itu dengan
senjata,” tutur pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA
John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA
Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat
itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih
tembaganya menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley
menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan
cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan
menguntungkan untuk 45 tahun ke depan.
Ironisnya,
Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan
tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang
termurah di dunia!!
Istilah
Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya
EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga
mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine)
atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut
emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!
Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura?
Apakah
pada awalnya pihak Indonesia sudah “dibohongi” tentang isi perjanjian
penambangan dan hanya ditemukan untuk mengeksploitasi tembaga saja?
Jika
iya, perjanjian penambangan harus direvisi ulang karena mengingat
perjanjian pertambangan biasanya berlaku untuk puluhan tahun kedepan!
Menurut kesaksian seorang reporter CNN yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara.
Dengan helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah yang dalam.
Semua
emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah dibawa kabur
ke Amerika, meninggalkan limbah beracun yang mencemari sungai-sungai
dan tanah-tanah orang Papua hingga ratusan tahun ke depan.
Dan
menurut penelitian Greenpeace, Operasi Freeport McMoran di Papua telah
membuang lebih dari 200.000 ton tailing perharinya ke sungai Otomina
dan Aikwa, yang kemudian mengalir ke Laut Arafura.
Dan hingga 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton tailing yang sebagian besar berakhir di lautan.
Sedimentasi laut dari limbah pertambangan hanyalah satu dari berbagai ancaman yang merusak masa depan lautan kita. (download PDF: laut Indonesia dalam krisis)
Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer.
Sejak
1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi
tambang pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Freeport
McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang walau
jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil
karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat dahsyat. Jika
Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih
dahulu.
Itu
pula yang menjadi salah satu sebab, siapapun yang akan menjadi
presiden Indonesia kedepannya, tak akan pernah mampu untuk mengubah
perjanjian ini dan keadaan ini.
Karena,
jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani mengutak-atik
tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan menggunakan seluruh
kekuatan politik dengan media dan militernya yang sangat kuatnya di
dunia, dengan cara menggoyang kekuasaan presiden Indonesia.
Kerusuhan,
adu domba, agen rahasia, mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok
negeri agar rakyat Indonesia merasa tak aman, tak puas, lalu akan
meruntuhkan kepemimpinan presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade.
Suharto, presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum dengan julukannya “the smilling General”
, presiden satu-satunya di dunia yang sudi melantik dirinya sendiri
menjadi Jenderal bintang lima, namun masih banyak yang ingin
menjadikannya pahlawan nasional, karena telah sukses menjual kekayaan
alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari Sabang hingga Merauke,
yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang besar, Indonesia Raya.
Indonesia,
negeri yang seharusnya memiliki masyarakat nan makmur sebagai Mercu
Suar Dunia, yang berguna untuk membantu puluhan negara-negara miskin
yang rakyatnya masih banyak dihantui kelaparan berkepanjangan, kini,
justru jadi bangsa pengemis. (berbagai sumber)
Mengapa
Osama bin Laden yang dibilang telah tewas tapi Amerika dan Inggris
tetap tidak mau meninggalkan Afganistan begitu saja?? Apa pula yang
dicari Amerika dan Inggris di Afghanistan???? Jackpot!!!
sumber: http://indocropcircles.wordpress.com/2013/05/29/bongkar-konspirasi-antara-sukarno-suharto-dan-freeport/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar